Nilai hari raya dalam pandangan Islam bukanlah semata-mata
rutinitas tahunan biasa. Hari raya menjadi sangat berarti karena ia sejatinya
berkaitan dengan ibadah-ibadah penting di dalam Islam. Hari raya idul fitri
dirayakan setelah kaum muslimin menunaikan ibadah shaum selama satu bulan
penuh, rukun Islam keempat. Dan hari raya idul adha, dirayakan kaum muslimin
bersamaan dengan ibadah haji yang
tengah ditunaikan oleh sebagian kaum muslimin yang telah mampu melaksanakannya,
rukun Islam yang kelima.
Ibnul A’rabi, sebagaimana dalam Al
Lisan, berkata, “Hari ‘ied Disebut ‘ied karena ia senantiasa kembali
setiap tahun dengan kebahagian yang baru.” (dinukil dari Syarh Umdah al Fiqh, hal. 309)
Oleh karena itu, hari raya seharusnya dimaknai oleh kaum muslimin
sebagai bentuk suka cita karena keutamaan dan karunia Allah, sublimasi dari
kebahagiaan karena taat dan ibadah, rasa syukur yang seutuhnya karena takwa dan
amal shaleh. Berbahagia karena keutamaan dan karunia Allah adalah perintah
Allah ‘azza wa jalla dalam
Al Qur`an:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ
فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah: “Dengan
kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia
Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus [10]: 58)
Tampakkan Kebahagiaan Itu
Valid dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa ketika beliau datang ke kota Madinah,
penduduknya biasa merayakan dua hari raya yang mereka isi dengan bermain pada
masa jahiliyyah. Beliau pun bersabda, “Sesungguhnya
Allah telah mengganti untuk kalian dua hari yang lebih baik dari dua hari raya
itu; idul fithri dan idul adha.” (HR Ahmad no: 12006 dan yang
lainnya)
Dalam kitab al Badru al
Tamam dikatakan, “Pada hadis tersebut terdapat isyarat yang
menunjukkan dianjurkannya berbahagia, menampakkan kesemangatan pada dua hari
raya.” (dinukil dari Syarh Umdah al Fiqh,
1/ 409)
Di zaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, dua orang budak wanita bernyanyi menyenandungkan syair-syair
hari Bu`ats pada hari raya `ied. Abu Bakar pun marah dan mengingkari perbuatan
dua budak wanita tersebut.
Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam pun bersabda, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu memiliki hari
raya, dan hari ini adalah hari raya kita.” (HR Bukhari no: 939, 952 dan
Muslim no: 892)
“Dalam hadis tersebut terdapat dalil anjuran menampakkan
kebahagiaan dan sebab-sebab yang mendatangkannya pada hari raya.” (Ikmaal al Mu’lim 3/307,
dinukil dari Syarh Umdah al Fiqh,
1/410)
Ibnu Hajar al ‘Asqalany berkata, “Dalam hadis ini terdapat
petunjuk bahwa menampakkan kebahagiaan pada hari raya termasuk syi’ar agama.” (Fathul Baary 2/443
dinukil dari Syarh Umdah al Fiqh,
1/410)
Al Khaththaby berkata, “Dikatakan, dalam hadis tersebut terdapat
dalil bahwa hari raya diperuntukkan untuk bersenang-senang, mengistirahatkan
jiwa, makan, minum dan jima. Tidakkah anda lihat bahwasannya dibolehkan
nyanyian karena alasan hari raya.” (Umdah
al Qary: 6/274 dinukil dari Syarh
Umdah al Fiqh, 1/410)
Dari Aisyah radhiyallahu
‘anha, ketika para pemuda bermain di masjid pada hari raya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Agar orang-orang Yahudi mengetahui bahwa dalam
agama kita juga ada waktu bersenang-senang, sesungguhnya aku diutus dengan
agama yang hanif” (HR Ahmad no: 24855 dengan sanad hasan)
Kegiatan Sosial di Hari
Raya
Bukti lain bahwa hari raya adalah hari kebahagiaan kaum muslimin
adalah, pada setiap hari raya itu disyariatkan amal ibadah yang mengandung
nilai sosial, disamping nilai ketaatan dan ketundukan kepada Allah sebagai
tujuan utamanya. Tujuannya adalah, agar secara merata seluruh kaum muslimin
dapat merasakan kebahagiaan, termasuk orang-orang yang tidak berkecukupan. Pada
hari raya `iedul fithri disyariatkan zakat fithri, mengeluarkan harta dalam
bentuk makanan kepada fakir miskin dengan ukuran yang telah ditentukan.
Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam bersabda tentang hikmah syariat zakat tersebut,
زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ
اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Zakat fithri (berfungsi)
untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan buruk, dan
untuk memberi makan kepada fakir miskin.” (HR Abu Dawud, dinilai hasan
oleh Syaikh Al Albani dalam al Irwa no:
843)
Pada hari raya idul Adha disyariatkan menyembelih hewan kurban dan
hadyu bagi yang sedang berhaji. Syariat ini juga mengandung nilai sosial karena
sebagian daging dari hewan sembelihan itu diperintahkan untuk disedekahkan
kepada fakir miskin. Allah berfirman:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا
اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ
الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Supaya
mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama
Allah pada hari yang Telah ditentukan atas rezki yang Allah Telah berikan
kepada mereka berupa binatang ternak[986]. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan
(sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan
fakir.” (QS.
Al Hajj [22]: 28)
فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا
وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Kemudian apabila Telah
roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela
dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.
Demikianlah kami Telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan
kamu bersyukur.” (QS.
Al Hajj [22]: 36)
Bersenang-senang Bukan
dengan Cara Bermaksiat
Walaupun pada hari raya dianjurkan untuk menampakkan kebahagiaan
dan bersenang-senang, bukan berarti kemudian pada hari raya kaum muslimin bebas
melakukan perbuatan apa saja. Bersenang-senang dan mengungkapkan kebahagiaan
pada hari raya tetap harus berada pada koridor yang dibenarkan, bukan dengan
perbuatan dan aktifitas maksiat.
Bermaksiat pada hari raya sama dengan menodai nilai hari raya itu
sendiri. Karena sebagaimana yang telah lalu, bahwa kebahagiaan hari raya adalah
kebahagiaan karena taat dan ibadah, karena besarnya karunia Allah atas kita
dengan diberikannya kita kemampuan untuk menunaikan perintah-Nya.
Wallahu a’lam, Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang
yang berbahagia di dunia dan di akhirat. Amin
Subang, Malam 9 Dzul Hijjah 1433 H/24 Agustus 2012
Penulis: Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc.
No comments:
Post a Comment