
gambar hiasan
Oleh: A.H. MaksumBismillaahirrahmaanirrahiimAssalaamu’alaikum Warahmatullaahi WabarakaatuhPeristiwa Isra’ bersumber dari Al-Qur’an, Surat Al-Isra’ (17) ayat 1 sbb: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”Sedangkan peristiwa Mi’raj secara implisit (tidak langsung) disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Najm (53) ayat 13-18 sbb:“Dan sesungguhnya Muhammad telah lihat Malaikat Jibril (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. Iaitu ketika berada di Sidratil-Muntaha. Di dekatnya ada syurga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang maha besar”.Peristiwa Isra-Mi’raj yang bersumber dari Al-Qur’an tadi juga diperkuat dan diperjelas oleh beberapa hadith (sabda) Rasulullah SAW. yang wajib bagi umat Islam untuk mempercayainya yang intinya dapat kita ringkaskan sbb:1. Perjalanan Isra’-Mi’rajPeristiwa Isra’-Mi’raj merupakan salah satu cara penurunan Wahyu dari Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW yang isinya berupa perintah solat. Solat atau sembahyang (menyembah Tuhan) merupakan ciri dari ajaran seluruh agama, terlepas dari perbezaan bentuk dan caranya, namun yang jelas semua agama pasti mengajarkan tentang solat (menyembah Tuhan). Mengingat begitu pentingnya kedududukan solat dalam Islam (5x sehari semalam) dibandingkan dengan ibadah lainnya seperti puasa (sebulan dalam setahun), zakat (1x setahun) dan haji (sekali seumur hidup), maka tidak hairan jika proses penurunan wahyunya pun melalui cara yang istimewa pula, yaitu dari Tuhan langsung kepada nabi Muhammad SAW tanpa perantaraan Malaikat Jibril. Peranan Malaikat Jibril disini hanya sebatas mengawal atau mengantar perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjiidil Haram ke Masjidil Aqsa (Isra’) kemudian naik sampai ke langit ketujuh (Mi’raj), Mi’raj artinya tangga (naik ke atas) untuk menghadap Tuhan secara langsung tanpa didampingi Malaikat Jibrildi di “Sidratil Muntaha” guna menerima Wahyu perintah solat. Sidratil Muntaha artinya tempat yang paling jauh atau ujung penghabisan. Jika proses penerimaan Wahyu selain solat melalui sistem 'top down' (dari atas turun ke bumi) melalui Malaikat Jibril disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, sebaliknya wahyu tentang perintah solat melalui sistem 'bottom up', artinya nabi Muhammad SAW yang diangkat ke langit menghadap langsung ke hadrat Tuhan,seperti diangkatnya nabi Isa AS oleh Tuhan dalam versi Al-Qur’an atau kenaikan Tuhan Jesus menurut kepercayaan Kristian.2. Isra’-Mi’raj sebagai mu’jizatDari segi ilmu pengetahuan, peritiwa Isra’-Mi’raj memang bertentangan dengan hukum alam (sunatullah) terutama menyangkut 'space and time' (ruang dan waktu). Dalam waktu semalam Nabi Muhammad SAW bisa menempuh perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqso kemudian naik ke atas menembus lapisan langit ketujuh yang berarti kecepatannya harus melebihi kecepatan cahaya dan mampu melampaui batas ruang planet bumi tanpa dibantu alat teknologi moden dan terjadi 15 abad yang lampau. Itulah bukti kebenaran mu’jizat yang diluar jangkauan akal manusia, sesuai dengan pengertian mu’jizat yang bersifat “kharijul’aadah” (diluar kebiasaan) atau bertentangan dengan hukum alam, yang hanya bisa dijangkau melalui kacamata iman, yaitu iman terhadap ke Maha Kekuasaan Tuhan bahwa:“Sesungguhnya perintahNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ”Jadilah!”, maka terjadilah ia” (QS Yaasin (36): 82).Jika hukum alam mengatakan api itu panas misalnya, apa kesulitannya bagi Tuhan Sang Pencipta hukum alam sendiri (sunatullah) untuk merubah sifat api menjadi dingin seperti yang dialami Nabi Ibrahim AS yang tak hangus terbakar api hanya dengan firman-Nya:”Kami berfirman: “Hai api, menjadilah dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim” (QS Al-Anbiyaa’ (21): 69).Demikian pula apa kesulitannya bagi Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu untuk hanya sekadar menggerakkan seorang hambanya Muhammad SAW dalam tempoh sekejap menempuh jarak ribuan batu jauhnya. Sebab kedudukan Nabi Muhammad SAW disini tidak lebih sebagai objek, sedangkan subjeknya atau penggeraknya adalah Tuhan sendiri sesuai dengan konteks ayatnya bahwa “Maha Suci Tuhan yang telah menmperjalankan hambanya…..” Artinya peristiwa Isra’-Mi’raj bukan kehendak Nabi Muhammad SAW, melainkan kehendak dan perbuatan Tuhan sendiri. Mu’jizaat berasal dari kata “’ajaza” yang berarti lemah. Mu’jizat artinya sesuatu yang melemahkan atau mengalahkan pihak lawan sebagai bukti kebenaran bagi seorang Nabi atau Rasul.Ketika Rasulullah SAW menceritakan kepada kaum Quraisy Mekkah tentang peristiwa Isra’-Miraj, mereka membantah dengan hujah bahwa hal tersebut tidak masuk akal. Tetapi hujah mereka dipatahkan (dikalahkan) oleh Rasulullah setelah beliau dapat menjawab dengan benar semua pertanyaan yang diajukan kepada beliau perihal Masjidil Aqso dengan segala cirinya yang dibenarkan oleh mereka yang pernah berkunjung kesana sehingga mereka tak bisa lagi mengingkari kebenaran tersebut.Anehnya, meskipun mereka tak bisa mengelak dari fakta kebenaran tersebut, tetap saja mereka tidak beriman terhadap kebenaran kenabian dan kerasulan Muhammad SAW.Hal ini membuktikan bahwa dasar penolakan mereka terhadap kebenaran Isra’-Mi’raj bukan semata2 faktor benar atau salah menurut akal, melainkan lebih dipengaruhi oleh tuntutan hawa nafsunya yang lebih memperhitungkan faktor untung dan rugi, faktor senang dan tidak senang. Memang benar bahwa tidak semua keimanan dalam hati seseorang bisa dibuktikan kebenarannya oleh akal, tapi juga tidak semua kebenaran akal akan serta merta diimani atau diterima oleh hati nurani seseorang. Karena manusia memiliki tiga potensi berupa akal, hati dan nafsu, tergantung faktor mana yang lebih dominan dari ketiga potensi tersebut. Itulah sebabnya Islam mengajarkan berbagai bentuk ibadah agar manusia bisa mengfungsikan akal, nafsu dan hati nuraninya secara proporsional yang akan mengantarkan manusia menuju keimanan.3. Hikmah Isra’-Mi’rajHikmah terpenting dari peristiwa Isra’-mi’raj ialah, selain mengingatkan kita akan pentingnya peranan solat bagi umat Islam sebagai cara yang paling efektief untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, seperti disabdakan Rasulullah SAW bahwa “Assalatu mi’raajul mu’minin” (solat merupakan mi’rajnya kaum mu’minin), peristiwa Isra’-Mi’raj juga sebagai ujian keimanan bagi kaum muslimin. Isra’-Mi’raj terjadi satu tahun sebelum peristiwa Hijrah, dimana umat Islam dalam kondisi lemah dibawah tekanan musuh yang memaksakan umat Islam hijrah ke Madinah setahun kemudian. Dalam kondisi seperti itulah Tuhan menguji kaum muslimin, sejauh mana keimanan dan kesetiaan mereka terhadap Nabi Muhammad SAW. Bagi kaum muslimin yang benar2 beriman akan bertambah teguh imannya, seperti tercermin dari sikap Abu Bakar As-Siddiq RA sahabat dekat Rasulullah SAW ketika ditanya pendapatnya oleh kaum Quraisy tentang peristiwa Isra’-Mi’raj, dengan tegas dia mengatakan: “Jika benar Nabi Muhammad SAW yang mengatakan demikian, lebih dari itupun aku percaya”. Sebaliknya bagi mereka yang imannya lemah, bisa jadi akan bertambah ragu dengan terjadinya peristiwa Isra’-Mi’raj yang oleh kaum Quraisy Mekkah dijadikan alat politik untuk meminggirkan Nabi Muhammad SAW.Secara kebetulan Isra’-Mi’raj terjadi pada ’aamulhuzni (tahun kesedihan) dimana Rasulullah SAW baru saja ditinggal wafat kedua orang yang sangat berjasa dalam membela perjuangan beliau, ialah isteri tercintanya Khatijah dan pamannya Abu Talib. Momentum ini dimanfaatkan kaum Quraisy untuk melancarkan provokasi terhadap umat Islam dengan tuduhan Muhamamad telah frustasi, putus asa, gila, mengada-ada dengan mengatakan bisa terbang kelangit dan sebaginya gara2 ditinggal mati isteri dan bapa saudaranya. Dalam kondisi yang sedemikian berat dalam mengatasi tekanan psikologi yang amat sangat memerlukan pertolongan Tuhan, tiba2 Nabi Muhammad SAW mendapatkan Wahyu perintah solat.Laksana seorang musafir ditengah hutan belantara yang kehilangan arah tiba2 mendapat kompas penunjuk arah, atau bagaikan seorang yang kehausan di tengah padang pasir tiba2 mendapatkan sumber air yang sejuk.Sebab, bukankah selama kurang lebih 12 tahun (sebelum Isra’-Mi’raj atau sebelum turunnya perintah solat, Nabi Muhammad SAW telah menanamkan ajaran tauhid (aqidah) terhadap umat Islam tanpa ibadah solat?artinya, selama itu umat Islam telah mengenal Tuhan sebagai zat Yang Maha Penolong, namun belum memiliki alat komunikasi yang efektif untuk mengadakan kontak langsung dengan Tuhan dalam memohon pertolongan. Maka alangkah bahagianya hati umat Islam ketika Rasulullah SAW pertama kali menyampaikan Wahyu tentang perintah solat sebagai cara untuk mendekatkan diri dan memohon pertolongan kepada Tuhan, seperti tersebut dalam firman Tuhan:“Mohonlah pertolongan kepada Tuhan dengan cara mendirikan solat dan bersabar” (QS Al-Baqarah (2): 45)Justru pada saat dimana umat Islam sedang merindukan pertolongan Tuhan. Dengan modal aqidah keimanan yang tangguh dan diperkuat oleh ibadah solat guna mendekatkan diri dan memohon pertolongan kepada Tuhan inilah agama Islam mulai menampakkan kewujudannya sebagai “rahmatan lil’aalamin” (rahmat bagi seluruh alam) terutama setelah peristiwa Hijrah ke Madinah. Peristiwa hijrah juga mempunyai hikmah tersendiri sebagi bukti bahwa Islam adalah agama cinta damai dan anti kekerasan. Artinya selama masih ada jalan untk menghindari peperangan seperti hijrah, Islam tak diperkenankan melakukan perlawanan atau kekerasan. Semua ayat Al-Qur’an yang mewajibkan jihad dalam arti perang diturunkan setelah hijrah.4. Masjidil Aqso |

No comments:
Post a Comment